“Siapa namanya?” tanya beliau.
“Zuhra. Z-U-H-R-A” jawabku.
“Aah, namamu artinya bintang pagi” balasnya sambil tersenyum dan menuliskan namaku di buku catatan yang kusodorkan padanya.
-Untuk Zuhra di Bonn. GM-
Bintang pagi: seperti sebuah sinyal
untuk berhenti. Di udara keras kata-kata berjalan, sejak malam,
dalam tidur: somnabulis pelan, di sayap mega, telanjang,
ke arah tanjungyang kadang menghilang. Mungkin ada
sebuah prosesi, ke sebuah liang hitam,
di mana hasrat – dan apa saja yang teringat – terhimpun
seperti bangkai burung-burungdi mana tepi mungkin tak ada lagi.
Siapa yang merancangnya, apa yang mengirimnya?
Dari mana? Dari kita? Ada teluk yang tersisih
dan garis lintang yang dihilangkan, barangkali.Sementara kau dan aku, duduk, bicara,
dalam sal panjang.
Dan aku memintamu: Sebutkan bintang pagi itu,
hentikan kata-kata itu. Beri mereka alamat!Kau diam. Mungkin ada sejumlah arti yang tak akan hinggap
di perjalanan, atau ada makna, di rimba tuhan,
yang selamanya menunggu tanda hari:
badai, atau gelap, atau –bukan bintang pagi.
1996
*Puisi ini sempat dibacakan dalam bahasa jerman dan GM menceritakan bahwa puisi ini dibuat saat menunggu temannya yang akan menjemput ajal. Salah satu puisi favorit beliau.
June 24, 2015 at 11:49 pm
Bagusss!
June 24, 2015 at 11:54 pm
hehe. kan catatan pinggir ajah.
June 25, 2015 at 4:22 am
bereh that lagoe… 🙂
June 25, 2015 at 5:38 pm
lagee nyan keuh adanya.
June 25, 2015 at 8:31 am
mantap bang
June 25, 2015 at 5:41 pm
mantap yang baru habis hiking 🙂
July 8, 2015 at 8:39 am
yoklah bg kita hiking bareng. biar kekinian